Pagi
datang. Villa Amanda Ratu ternyata keren juga, dan masih asri ,
terletak di tengah – tengah perkebunan kelapa, di tepi pantai dan ujung
muara sungai, wow….. pemandangan estuari dan laut lepasnya tampak
begitu indah. Semalem tidak terlihat, maklum sudah mabok darat,
sehingga tidak ingat kanan kiri. Saya pun menikmati pagi berkeliling
kawasan villa. Ngobrol sebentar dengan bapak pemanjat kelapa, hebat
juga si bapak, ternyata masih mampu manjat kelapa 80 hingga 90 pohon per
hari, untuk memanen legen. Tiap pohon kelapa rata – rata mampu
menghasilkan 3 liter legen sebagai bahan baku gula kelapa.
Saat masuk wilayah kecamatan Tegalbuleud, bangunan industri
pengolahan pasir besi sudah tampak dari jalan. Direktur perusahaan sudah
menunggu di lokasi ( nama usaha dan orangnya tidak usah disebut ya )
begitu kami masuk pintu gerbang pabrik. Pabrik belum beroperasi, beberapa
mesin dan peralatan masih di pack dan tergeletak, katanya baru datang
dari Tanjung Priok. Pas tiba di lokasi, saya sudah menduga kalau
lokasinya pasti di daerah sempadan pantai, soalnya jarak ke pantai
terlihat sangat dekat. Izin penambangan pasir besi dan izin operasional
pabrik nya sudah diterbitkan oleh Kabupaten Sukabumi (Kok bisa ya ???
). Nah, sekarang si pemilik pabrik mau mengajukan izin untuk pembangunan
Terminal (pelabuhan bongkar muat ) untuk transport pelet besi (
hasil pengolahan pasir besi ) ke luar Jawa Barat, katanya untuk ekspor
ke China. Dermaga pelabuhan yang akan dibuat terletak di dekat pabrik,
menjorok ke laut sekitar 700 m. Kapasitas produksi nya mencapai 1500 ton
per hari, atau perlu 2 kapal pengangkut per bulannya. Pasir besi yang
membentang sepanjang pantai Tegalbuleud, sampai muara sungai Cikaso,
atau seluas 756 ha, mengandung 18 % Fe. Setelah melalui proses separasi
dan pembakaran menghasilkan pelet ( kaya butiran kelereng ) dengan
kandungan 60% Fe.
Katanya
izin penambangan pasir besi yang diperoleh terletak di luar garis
sempadan pantai 100 m. Saya iseng untuk mengukurnya dengan langkah kaki,
wah…… ternyata kalau ditarik dari garis sempadan pantai ( batas pasang
tertinggi ke arah darat ) hampir seluruh lokasi pasir besi plus
pabriknya masih di garis sempadan pantai ( kumaha…..nu mengeluarkan izin
teh ???? ), seharusnya batas penambangannya diberi tanda di lapangan.
Kalau tidak ada, ya ……. Berabe!. Pas mau pulang, mobil sempat mogok
karena akinya tekor, sehingga harus didorong,…..memalukan.
Sambil menyusur pantai, sambil merenung, membayangkan pesisir selatan dengan pantainya
yang indah, dan memiliki pesona khas daerah selatan, ombak besar,
sebagian curam, masih cukup asli dan belum banyak terjamah pembangunan,
potensi perikanan yang tinggi, beberapa perkebunan dan hutan di
sepanjang pantai. Pesona Jabsel yang menawan baru dapat dilihat oleh
segelintir orang, jarak yang relative jauh dari Bandung dan Jakarta,
ditambah kondisi jalan yang kurang baik, membuat orang enggan untuk
menyambanginya, barangkali hanya orang orang yang punya minat khusus
saja atau tugas seperti saya, yang datang. Ruas Tegalbuleud, Cibuni,
hingga Agrabinta ternyata jalannya masih jelek, namun ada kemajuan
dibandingkan 2 tahun lalu, minimal tidak off road sepanjang jalan.
Beberapa tempat sudah di beton, dan diperhalus, namun relative masih
sedikit. Kondisi sampai ke Cidaun tidak jauh berbeda. Dampaknya, dalam
waktu 5 jam, badan jadi cepat penat dan lapar…….. Di Cidaun, ada sate
enak lho, boleh dicicip kalau kesana, sate sapi model polos ala maranggi
tanpa bumbu kacang. Letaknya pas di persimpangan jalan menuju Cidaun –
Bandung – Sindangbarang.
Mulai simpang Cidaun – Jayanti – Sindangbarang – ke Rancabuaya jalan
lebih baik, bahkan mobil bisa dipacu hingga 60 km/jam. Jembatan –
jembatan penghubung sudah berdiri kokoh menghubungkan wilayah pesisir
selatan Cianjur, Garut, Tasikmalaya, hingga Ciamis.
Sungguh
sayang bila jalan yang sudah bagus tersebut, harus cepat rusak akibat
beban truk-truk pengangkut pasir besi di sepanjang titik penambangan
mulai Tegalbuleud, Sindangbarang, dan Cipatujah. Seminggu yang lalu di
Koran PR, muncul berita masyarakat menolak aktivitas penambangan pasir
besi di Cipatujah, pesisir selatan Tasikmalaya, karena merusak
lingkungan dan jalan, tapi ada juga yang pro ? tahun lalu hal serupa
muncul di Sindang Barang, karena saya sempat bersama – sama LSM
setempat melihatnya. Kenapa ya, kok belum ada yang meng-ekspose
perhitungan nilai ekonomi pasir besir besi versus manfaat/kerusakan
lingkungannya (valuasi ekonomi ) ? Trus hasil ekonominya, penikmat
terbesarnya siapa ? Wong buat ekspor ke China. Sejauhmana dikembalikan
untuk perbaikan lingkungan ? Sudah di demo, diprotes, dilarang, kok
masih tetap jalan terus penambangannya ? Lha, untuk yang punya izin,
kok bisa begitu mudah ya dapat izin ? …… Siapa mau jawab !!!!!
Saya masih mencoba memahami rencana bikin terminal khusus/ pelabuhanpasir besi tersebut.
Di satu sisi memang membantu transportasi, dan tidak akan merusak
jalan darat. Tapi di sisi lain, kalau ada terminal berarti mendorong
intensifnya penambangan pasir besi dan mendukung izin yang sudah
dikeluarkan. Lalu dampak terhadap ekosistem pesisir ? Jaminan
reklamasinya ? Pengendalian pemanfaatan kawasan lindung ( sempadan
pantai ) ? Rumit juga.
Waktu menjelang maghrib, ketika kami berhenti untuk sholat di sebuah
masjid di pantai Rancabuaya. Air wudlu yang bening dan dingin membasahi
muka dan kepala, menghilangkan letih dan penat yang terasa. Sunset
muncul begitu menawan, menghantarkan kami pulang melalui jalur
Pameungpeuk-Garut menuju Bandung.
0 comments:
Posting Komentar