Asumsi yang berkembang - sejak dua tahun- terakhir ini adalah ” daerah pinggiran Kab. Sukabumi, dari Ujung Genteng hingga Cidaun (Cianjur Selatan) merupakan daerah kaya akan sumberdaya alam (SDA)”. Asumsi ini lebih mengerucut saat ditemukan, pasir besi, bijih besi, hi
ngga uranium terbaik di dunia di sekitar Kecamatan Tegalbuleud. Terjadi pembebasan lahan masyarakat secara massive bahkan cenderung sporadis dengan tanpa ada konsensus yang jelas antara pembeli lahan dengan para penjual kecuali persoalan jual-beli semata.
ngga uranium terbaik di dunia di sekitar Kecamatan Tegalbuleud. Terjadi pembebasan lahan masyarakat secara massive bahkan cenderung sporadis dengan tanpa ada konsensus yang jelas antara pembeli lahan dengan para penjual kecuali persoalan jual-beli semata.
Kemudian, dibangunlah di wilayah tersebut pabrik pasir besi. Sudah pasti mudah ditebak, pemilik pabrik bukan merupakan penduduk asli negeri ini kecuali para investor dari RRC. Pembangunan pabrik bijih besi tidak berdiri begitu saja, namun diikuti oleh dikeruknya dua sumberdaya alam terbaik di dunia, bijih besi dan uranium. Pihak perusahaan - demi alasan keamanan - telah membentengi daerah penggalian dan pengerukan pasir besi dengan pagar beton.
Satu tahun lalu, masyarakat pernah mempertanyakan akibat yang akan ditimbulkan ke depan dari pengeksploitasian pasir besi di wilayah Tegalbuleud ini. Sebagian dari masyarakat memberikan penilaian, pengeksploitasian pasir di daerah pinggiran pantai memiliki dampak riskan ke depan. Bahkan kerugian terbesar tidak hanya terhadap lingkungan saja, juga terhadap pengeksploitasian sumberdaya alam negara ini oleh masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi harus jeli membaca persoalan ini. Sebuah wilayah tidak hanya dibangun atas dasar dengan mudahnya para investor menanamkan modal di wilayah tersebut. Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada dasarnya bukan semata hanya dinilai dari investasi-investasi yang diberikan oleh para investor, lebih dari itu harus diperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh pengeksploitasian pasir besi, bijih besi, dan uranium oleh para investor. Kerugian darinya harus diperhitungkan, jika seorang warga menjual tanah kepada investor rata-rata Rp. 300.000/meter, faktanya negara akan mengalami kerugian ±20 meter kubik pasir besi dalam 1 meter. Jika eksploitasi dan penggalian lebih dalam, maka kerugiannya pun akan semakin besar juga.
Konsensus seperti di atas sama sekali lepas dari perhitungan, bahkan masyarakat pemilik lahan yang telah dibebaskan pun sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Jika benar dengan adanya eksploitasi pasir besi dan bijih besi pemerintah Kabupaten Sukabumi diuntungkan maka harus ada alasan yang tepat kalau Kabupaten Sukabumi tidak mendapat julukan Desa Tertinggal, karena realitanya Kabupaten ini merupakan daerah yang kaya dengan sumberdaya alam dan mineral. Hanya saja, fakta yang terjadi, pemerintah hanya mendapatkan beberapa persen saja dari pengeksploitasian sumberdaya alam oleh para investor dan pihak swasta. Ketika hal ini terjadi, tidak seharusnya ada alasan pembiaran oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi terhadap aktivitas eksploitasi pasir besi, bijih besi, dan uranium terbaik di dunia. Bagaimana pun juga, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat agar kekayaan alam negeri ini tidak menguap dan hilang begitu saja tanpa dinikmati oleh penduduknya.
Kecendrungan ‘Laizzes Faire’, pembiaran terhadap aktivitas eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan bukan merupakan bagian dari aturan bermain AFTA dan pasar bebas. Penekanan AFTA jelas berpihak secara sebelah menyebelah, adanya penekanan keseimbangan antara para investor dan tuan rumah. Kesalahan dalam menilai AFTA justru akan berakibat pada rendah dirinya sebuah bangsa, runtuhnya tatanan nilai akibat sikap prustrasi warga negara, para investor sebagai pemilik modal akan dibesar-besarkan sebagai ‘tuan’ sementara tuan rumah akan diposisikan sebagai ‘hamba’. Akan menjadi berita pahit, saat para pemilik pabrik dan poor-mannya memaki para pekerja kemudian keberpihakan dari Pemerintah sama sekali tidak tampak karena lemahnya pengawasan terhadap hal ini.
Pernahkah kita -terlebih pemerintah- berpikir, hasil pengeksploitasian pasir besi, bijih besi, dan uranium di Tegalbuleud tersebut dibawa ke mana? Diolah untuk keperluan apa? Hal-hal mendasar seperti ini pasti luput dari diri kita dan pemerintah. Lebih jauh, pernahkah terpikirkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam oleh pemerintah sendiri atau oleh investor dari dalam negeri? Jika tidak terbersit sedikit pun pikiran itu, maka negara ini memang telah gagal mencetak pemerintah. Jangan disepelekan, penjajahan ekonomi pada akhirnya akan berdampak pula pada penjajahan fisik dan mental. Lihatlah para pekerja di pabrik-pabrik. Bahkan mental kita telah dicetak sebagai peminta-minta, premanisme dan centeng-centeng pabrik pun berdiri dengan angkuh karena ingin mengabdi kepada para investor sebagai ‘boss’ mereka namun bersikap kasar terhadap para buruh pabrik.
Sumber Informasi :
4 comments:
seharusnya pejabat daerah peka terhadap persoalan yang melibatkan dampak dari rusaknya linkungan khususnya dengan masalah perijinan pasir bEsi di daerah tegalbuled,
mau kmanakan nasib-nasib para petani yang lebih mengutamakan pendapatan dari petani.mau sampai ka[an kita di jajah oleh negara lain.kita harus bersatu karena dengan kebersamaan semua masalah akan tersselesaikan..dengan peduli lingkungan.
Saya sependapat mas...
Saya sependapat mas...
Posting Komentar